Shopping Cart

Total Items:
SubTotal:
Tax Cost:
Shipping Cost:
Final Total:
Diberdayakan oleh Blogger.
  • MEMAHAMI HADITS 
    BERDASARKAN ASBABUL WURUD
     
    Asbabul Wurud adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Pembagian Asbabul Wurud : ada hadits yang mempunyai sebab disabdakan dan ada hadits yang tidak mempunyai sebab-sebab disabdakan. (1) Hadits yang mempunyai sebab disebutkan dalam hadits itu sendiri. Misalnya hadits yang timbul karena pertanyaan Jibril kepada Nabi SAW tentang pengertian Islam, Iman, dan Ihsan. (2) Hadits yang sebab tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi disebutkan pada jalan (thuruq) hadits yang lain, misalnya : hadits yang menerangkan shalat yang paling utama bagi wanita adalah di rumah kecuali shalat fardhu.
    Dan untuk sampai kepada pemahaman hadis yang benar  salah satu caranya yaitu dengan mengetahui asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadits). Ini sangat penting, khususnya bagi para pemuda yang baru belajar hadits, tapi sudah bergaya seperti para Imam, untuk kemudian berfatwa atau menghukumi perbuatan orang lain hanya dengan melihat matan (isi) hadits, tanpa mau menengok sebab-sebab turunnya hadits serta pendapat para ahli ilmu dan ahli fikih yang diakui dunia Islam. Yaitu para ulama yang jauh dari para raja dan para penguasa zhalim. Karena mereka hanya takut kepada Allah SWT. (Innama yakhsyallaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa’).
    Asbabul Wurud ditentukan oleh beberapa hal : (1) Ada ayat al-Qur'an yang perlu diterjemahkan Rasulullah. Fungsi hadits sebagai Tafsirul Qur'an bis Sunnah). (2) Ada matan hadits yang masih perlu dijelaskan oleh Rasulullah. Hadits yang dijelaskan itu merupakan sababul wurud dari hadits berikutnya. (3) Ada peristiwa yang timbul yang perlu dijelaskan oleh Rasulullah. (4) Ada masalah atau pertanyaan dari para sahabat. Ulama yang mula-mula menyusun kitab mengenai asbabul wurud adalah Abu Hafsah al-'Akbari (380-456 H). As-Suyuthi - karyanya berjudul "al-Muma' fi Asb al-Hadits" 5. Urgensi Asbabul Wurud : dapat membantu atau menolong dalam memahami hadits secara benar. Jika hadits tidak diketahui asbabul wurudnya, akan mengaburkan pemikiran seseorang dalam memahamai hadits, bahkan bisa salah sama sekali. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi :  "Barang siapa menyerupai kaum maka termasuk golongan mereka"
                Menurut Muh.Zuhri, hadits ini pernah dipahami, karena penjajah orang kafir itu bercelana panjang dan berdasi, maka orang Islam yang berpakaian semacam itu termasuk kafir, berdasarkan hadits tersebut.
    Dalam hadist yang di riwayatkan al Bukhari dari Al Bara’ bin Azib, dijelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Masuk Islamlah kamu kemudian berperanglah!’
    Jika kita tidak mengetahui latar belakang di ucapkannya hadis ini, kemungkinan kita akan berkesimpulan salah.  Pertama kita akan berkesimpulan: begitulah Islam.  Suka berperang, ajarannya berat.  Kedua, jika tidak berani berperang, tidak usah masuk Islam.  Hal lain, kita tidak tahu kepada siapa sebenarnya perintah itu di tujukan.  Tetapi selatelah kita mengetahui latarbelakangnya, ternyata kesimpulan di atas salah.  Akibat salah menarik kesimpulan, pengamalannya pun pasti akan salah.
    Orang yang membaca hadits tersebut akan berkesimpulan bahwa Islam agama yang suka perang.  Jika tidak mau berperang maka tidak perlu masuk Islam. Atau tugas utama orang setelah masuk Islam adalah berperang.  Pemahaman ini tentu sangat jauh dari makna hadits tersebut. Untuk itu kita perlu mengetahui sebab turunnya hadits tersebut. Yaitu pada suatu peperangan ada seorang laki-laki menemui beliau dan berkata,  “ Ya Rasulullah aku akan berperang kemudian baru masuk Islam. “Lalu beliau menjawab, “Masuk Islamlah kemudian berperang.“ Kemudian dia loncat ke medan perang dan terbunuh. Lalu Rasulullah bersabda, “Dia beramal sedikit namun diberi pahala banyak. “ 
    Senada dengan tersebut Al Bara mengatakan bahwa ternyata hadist tersebut diucapkan Rasulullah karena saat itu timbul peristiwa.  Yaitu peristiwa datangnya seorang laki laki menemui beliau, katanya: “Ya Rasulullah, aku akan berperang kemudian barulah aku masuk Islam”.  Kata Rasulullah: “Masuk Islamlah, kemudian berperang”  Akhirnya orang tersebut masuk Islam dan kemudian pergi berperang dan terbunuh di sana.  Menyaksikan kejadian itu, Rasulullah bersabda: “Dia beramal sedikit namun di beri pahala banyak”
    Peristiwa yang melatarbelakangi timbulnya hadist Rasul ini di sebut Sababul Wurud atau istilah jamaknya Asbabul Wurud. Dengan mengetahui Sababul Wurud suatu hadis kemungkinan salah menyimpulkan kandungan hadist akan leibh teratasi.  Dan tentu saja pengamalan dan penterapannyapun akan lebih tepat. Asbabul wurud dalam Al Hadist sama halnya dengan Asbabun Nuzul dalam Al Quran.  Mengingat betapa pentingnya kedua Asbab ini, banyak ulama yang mengikhlaskan dirinya menggeluti kedua bidang ini sehingga baik Asbabun Nuzul maupun Asbabaun Wurud menjadi sebagian atau cabang ilmu dalam Agama Islam.
    Al Hadist dilihat dari segi Asbabul Wurud atau sebab sebab timbulnya di tentukan oleh beberapa hal:
    1.      Ada ayat Al Quran yang perlu di jelaskan Rasulullah sebab salah satu fungsi al Hadist adalah tafsir dari Al Quran (Tafsirul Quran bis Sunnah)
    2.      Ada Matan hadist yang masih perlu di jelaskan oleh Rasulullah.  Hadist yang di jelaskannya itu sekaligus merupakan Sababul Wurud dari hadist berikutnya.
    3.      Ada peristiwa yang timbu l yang perlu diulas oleh Rasulullah
    4.      Ada masalah atau pertanyaan para shabat.
    Namun ada pula matan hadits yang timbul tanpa Sababul Wurud atau timbul dengan sendirinya. Sabda Rasulullah, “Sesungguhnya kehadiranku merupakan rahmat Allah dan aku bertugas memberikan petunjuk” dan “Kasihanilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya akan mengasihani semua yang ada di langit”. Yakni berpegang teguhlah kepada akhlaqul kharimah yang sebenarnya menjadi tujuan kita semua agar masyarakat umum juga berjalan di atas prinsip itu.  Dan justru  pada sunnah itulah kita akan mendapatkan ajakan yang menuju kea rah itu dengan contoh contoh yang mencakup semua aspek.   Karena sesungguhnya sunnah adalah:
      
    ·         Sunnah adalah seluruh prilaku Nabi Muhammad yang berisi ajakan dengan cara yang baik dan bijaksana menuju keluhuran budi pekerti ummat manusia
    ·         Sunnah adalah ajakan kepada seorang pedagang agar ia menjadi pedagang yang jujur yang kelak dapat berkumpul bersama para Nabi, Syuhada dan Shadiqin
    ·         Sunnah adalah himbauan kepada pekerja agar ia meyakini tugas pekerjaan yang diembannya sebab Allah mencintai orang  yang bekerja dengan penuh keyakinan dan ketekunan.
    ·         Sunnah adalah ajakan kepada seluruh umat manusia agar menunaikan amanat dengan sebaik baiknya sebab tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanat.   Juga mengajak kepada kebenaran, karena saat seseorang berlaku benar, Allah akan menetapkannya sebagai seorang  yang benar di sisinya. 
    ·         Sunnah mengajak manusia bernaung  di bawah rahmat Islam, ajaran yang dibawa Rasulullah. 
    Sunnah Rasul dalam da’wahnya selalu memperingatkan peranan umat Islam, bahwa peranannya adalah sebagai khalifah yang seharusnya menampilkan sifat sifat kepemimpinan utama dan keteladanan yang baik. Rasulullah merupakan sosok atau kehidupan yang menggambarkan tentang prinsip prinsip kemanusiaan, perilaku yang telah di gariskan dan disukai Allah yang harus diteladani umat manusia.
    Menyadari kedudukan As Sunnah yang demikian tinggi dan mulia, maka para ulama yang memperoleh cahaya kebenaran, setiap masa, berusaha bersungguh sungguh mempelajari dan mengajarkan Sunnah, melaksanakan dan menyampaikan  prinsip-prinsip akhlaq mulia yang diterangkan di dalamnya. Para ulama ahli sunnah mengetahui dan menyadari  fungsi mereka.  Oleh sebaba itu mereka bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia sementara manusia saling berebut rebutan. Mereka, yakni ulama-ulama Sunnah tidak tertarik menumpuk- numpuk harta kekayaan karena kekhidmatan mereka terhadap agama.  Mereka menghindar dari gaya hidup berfoya foya karena ingin menanamkan benih benih akhlaqul kharimah.  Mereka menjauhi kemegahan kekuasaan dan kebesaran yang diberikan Allah kepada yang dikehendakiNya dan dicabut dari siapa yang di kehendakiNya.  Mereka sabar dalam menempuh kehidupan, sabar beramal dan beribadah.  Mereka giat bekerja di siang hari, tekun beribadah di malam hari mencari ridha Allah dan RasulNya.
    Diantara contoh yang ingin kami ketengahkan yang sesuai dengan gambaran di atas, misalnya Imam Ahmad bin Hambal.  Dia seorang Muhaddist yang menerapkan gambaran yang sebenar benarnya apa yang ada pada diri Rasulullah terutama masalah akhlak. Sirah atau perjalanan hidup Imam Ahmad merupakan contoh paling jelas dari seorang yang berpegang teguh terhadap apa yang diyakini benar, dan sekaligus kesabarannya dalam mencapai dan menyampaikan kebenaran.
    Contoh lain, Imam Bukhari dan yang lainnya yang jiwanya selalu haus akan sunnah, perilakunya senantiasa  memperlihatkan contoh perilaku utama dari akhlaqul karimah.  Contoh utama akhlaqul karimah tsb. Selalu bertujuan membentengi diri dari perangai dan perilaku jahat yang selalu dihembuskan syetan pada setiap keadaan. Dia selalu berusaha memisahkan orang dari keutamaan dan kebenaran agar terperosok ke dalam tarikan hawa nafsu dan kesesatan.
    Jika keteladanan akhlak utama ini sirna, maka manusia akan kehilangan harga dirinya, kehilangan sesuatau yang dapat menenangkan jiwanya serta kehilangan kepercayaan kepada dan dari orang lain. Betapa sunnah Rasul telah berhasil mendidik orang-orang.  Hal ini merupakan kekhususan tabiat sunnah itu sendiri di mana kemanusiaan telah dapat menyaksikan ketinggian, kejujuran dan kekuatan mereka yang terdidik oleh sunnah Rasul.
    Imam Ahmad, Imam Al Bukhari dan Amirul Mukminin dalam al Hadist, seperti Imam Sufyan Ats Tsauri dan lain lainnya merupakan mercu suar yang menerangi umat menuju keluhuran budi. 
    Jika demikian halnya, tidak boleh tidak, mutlak diperlukannya usaha menyiarkan sunnah, upaya memperbanyak orang orang yang haus terhadap sunnah, orang orang yang menjadikannya menjadi pola hidupnya.  Alhasil, sunnah harus di dimasyarakatkan, sunnah harus di sebarkan agar menjiwai kemanusiaan.  Sunnah harus mewarnai peradaban, Sunnah harus disebarkan untuk memperkaya perbendaharaan kata dalam Bahasa.
     Untuk itu marilah kita lihat contoh lain memahami hadits dengan melihat asbabul  wurudnya.  
    “Angkatlah rumah itu ke langit dan mintalah kepada Allah kelapangan rizki. “
     (HR Thabrani, isnadnya hasan). Orang yang tidak melihat sebab turunnya hadits. maka ia 
    menduga bahwa Rasulullah menyuruh agar kita mengangkat rumat ke langit. Ini tentu tidak 
    mungkin dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin rumah bisa diangkat ke langit.? 
    Sababul wurudnya adalah ketika Khalid bertanya kepada Rasulullah, “Aku mengeluh kepada Rasulullah tentang kesempitan hidup dan kemiskinan. “ Sabda beliau, “Angkatlah rumah itu ke langit……“ 
    Maksudnya adalah suasana rumah harus diciptakan sedemikian rupa supaya tidak terasa sumpek baik fisik maupun non fisik. Karena kita tidak mungkin menggangkat rumah sampai langit.  
    Hadits lainnya, “ Sesungguhnya perempuan itu menghadap dalam rupa syetan dan membelakangi 
    dengan rupa syetan. Maka bila salah seorang kamu melihat perempuan, 
    lalu ia mengagumi kecantikannya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena sesungguhnya
    hal itu akan mengembalikan sesuatu yang ada pada dirinya.“ (HR Muslim, Ahmad, 
    Abu Daud adan Nasaa’i).
    Membaca dhahir hadits kita akan  berkesimpulan alangkah malangnya nasib wanita yang
    disamakan dengan syetan. Padahal maknanya tentu sangat jauh dari dhahirnya (arti teksnya).
    Karena sebab turunnya hadits tersebut adalah pada suatu saat Nabi melihat seorang wanita, 
    maka beliau segera mendatangi istrinya Zainab, lalu beliau menunaikan hasratnya kepada istrinya.
    Kemudian beliau menemui sahabat-sahabatnya dan bersabda seperti bunyi hadits tersebut.Sehingga maknanya bahwa kecantikan wanita itu dapat menimbulkan gairah atau nafsu seksual yang 
    mengarah kepada kemaksiyatan. Sebagaimana halnya syetan yang mengajak kepada perbuatan maksiyat, keji dan munkar. Jadi maknanya  wajah wanita dalam rupa syetan hanyalah majaz (tamsil) bukan makna hakiki. Sebab kecantikannya dapat menggoda kita. Karena itu Rasulullah menyuruh 
    agar segera kembali kepada istrinya agar tidak tergoda oleh wanita lain.
    “Sesungguhnya anak itu menimbulkan sifat bakhil, menakutkan, membodohkan dan 
    menyedihkan. “  (HR Hakim, Thabarani, Imam Adz Dzahabi dan Al Iraqi menyatakan
    sanadnya shahih). Sababul wurudnya adalah Rasulullah menggendong Hasan (cucunya) 
    lalu beliau menciuminya dan bersabda seperti itu. Maksudnya bahwa anak atau cucu 
    bisa melalaikan, menyebabkan cinta dunia dan melupakan akherat. 
    
    
    Demikianlah salah satu cara memahami hadits. 
    Yaitu dengan melihat sebab-sebab turunnya hadits
  • Al-Jarhu wa Al-Ta’dil
    (Evaluasi Negatif dan Positifnya Perawi Hadis)

    A. Latar Belakang Histori
    Terbunuhnya Umar bin al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu Kritik Hadis. Namun terbunuhnya Utsman bin ‘Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin Ali pada tahun 61 H, yang diiringi lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu Kritik Hadis. Karena untuk memperoleh legitimasinya masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari Hadis Nabi s.a.w. Apabila Hadis yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat Hadis palsu.
    Sejak saat itu para ulama kritikus Hadis dalam menyeleksi Hadis tidak hanya mengkritiknya dari segi matannya, melainkan juga dengan meneliti identitas periwayat Hadis tersebut. Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad. Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman bin Affan), apabila mendengar Hadis mereka selalu menanyakan dari siapa Hadis itu diperoleh. Apabila diperoleh dari Ahlus-Sunnah, Hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, Hadis itu ditolak[1]. Maka sejak saat itu, para ulama ahli Hadis membuat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima Hadisnya, di samping kriteria-kriteria teks Hadis yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam.
    Kajian masalah kualifikasi perawi hadis tumbuh dan berkembang menjadi suatu cabang ilmu hadis yang disebut ‘ilm jarh wa ta’dil, yakni suatu ilmu yang mempelajari perihal para periwayat hadis dari segi sifat jelek dan sifat baik (terpuji) yang dimilikinya untuk mengetahui apakah dengan demikian riwayatnya dapat diterima ataukah harus ditolak.
    Ilmu ini tumbuh dan berkembang seiring dengar pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis itu sendiri, karena untuk dapat menyeleksi hadis yang dapat diterima atau ditolak, haruslah dengan mengetahui keadaan para periwayatnya, yakni dengan melakukan jarh wa ta’dil. Para sahabat, para tabiin, dan ulama hadis generasi berikutnya tidak mau begitu saja menerima hadis yang sampai kepada mereka, kecuali apabila yang menyampaikannya itu orang yang mereka kenal dan dapat dipercaya.
    Di kalangan sahabat yang terkenal melakukan jarh dan ta’dil ialah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, dan Zaid bin Sabit. Dari kalangan tabiin: asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, al-A’masy, dan Syu’bah. Generasi selanjutnya di antaranya ialah Ibnu al-Mubarak, Ibnu Uyainah, Ibnu Mahdi, Yahya bin Ma’in, dan Imam Ahmad bin Hanbal, di samping imam-imam hadis terkenal, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
    Para pakar Ilmu-ilmu Hadis menilai bahwa abad pertama Hijriah merupakan periode pertumbuhan Ilmu-ilmu Hadis. Sementara sejak awal abad kedua sampai awal abad ketiga dinilai sebagai peiriode penyempurnaan. Sedangkan masa berikutnya, sejak awal abad ketiga sampai pertengahan abad keempat merupakan masa pembukuan. Pada masa ini para ahli Hadis mulai membukukan Ilmu-ilmu Hadis, meskipun secara parsial. Misalnya, Yahya bin Ma’in (w 234 H) menulis Tarikh al-Rijal, Ahmad bin Hanbal (w 241 H) menulis al-I’lal wa Ma’rifah al-Rijal. Bahkan sebelum mereka, Muhammad bin Sa’d (w 230 H) telah menulis al-Tabaqat al-Kubra [2], Ibnu Abi Hatim al-Razi (w 327 H) juga menulis buku kritik terhadap rawi-rawi Hadis, berjudul al-jarh wa al-Ta’dil. Sementara Ibnu Hibban al-Busti (w 354 H) menulis buku yang khusus mengkritik rawi-rawi yang ditolak Hadisnya, berjudul Kitab al-Majruhin. Imam Bukhari (w 256 H) juga menulis buku kritik Rawi Hadis, berjudul al-Tarikh al-Kabir.

    B. Definisi
    Al-jarh dan al-ta’dil adalah dua istilah dalam ilmu hadits, yang artinya  melukai dan mengadilkan, yakni, memandang sebagai adil’, yakni, kritik negatif dan positif kepada para tokoh penutur hadits. Dengan al-jarh, segi-segi kelemahan seorang tokoh penutur hadits diungkapkan, dan dengan al-ta’dil segi-segi kekuatannya yang diungkapkan. Dengan begitu dapat diperkirakan, atau diketahui, sampai sebuah hadis yang diriwayatkan oleh orang bersangkutan dapat dipercaya (shahih, sahih) atau tidak.[3]
    Al-Jarh ( ﺍﻟﺠﺭﺡ ) secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata ﻳﺟﺮﺡ ﺟﺮﺡ -   yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[4]
    Al-Jarh secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedang “at-Tajrih ” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.[5]
    AI-Adl ( ﺍﻟﻌﺪﻝ ) secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.[6] Sedangkan AI-Adl secara terminologis berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat yang membersihkannya sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima khabarnya.[7]
    Dengan demikian, Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil berarti Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka atau ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk menentukan status perawi hadis, baik yang berkaitan dengan kecacatan atau keadilannya dengan lafadz-lafadz khusus, baik untuk menerima Hadits maupun menolaknya.[8]

    C.  Ruang Lingkup
    Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagal berikut:
    1)      Bid’ah, yakni mempunvai i’tikad beriawanan dengan dasar syariat. Orang tersebut digolongkan sebagal fasik. Bid’ah juga bisa digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayal bahwa Tuhan menyatu dengan Ali dan imam-iman lain, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali kedunia sebelum kiamat.
    2)      Mukhalafah, yakni perlawanan sifat adil dan dhabith seorang rawi dengan rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
    3)      Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan .
    4)      Jahalatul hal, yakni tidak diketahul identitasnya.
    5)      Da’wa al-Inqitha’, yakni mendakwa, terputusnya sanad.
    Kaidah Tajrih dan Ta’dil ada dua macam:
    1. Naqd Khariji, atau kritik eksternal, yaitu tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
    2. Naqd Dakhili, kritik internal, yaitu tentang makna Hadits dan syarat keshahihannya.
    Syarat pentajrihan dan pen-Ta’dil-an adalah:
    1. Berilmu
    2. Taqwa,
    3. Wara,
    4. Jujur,
    5. Menjauhi fanatik golongan,
    6. Mengetahul sebab-sebab ta’dil dan tajrih (mufassar)

    D.  Dasar Hukum
    Kaidah-kaidah umum syari’at menunjukkan kewajiban memelihara sunnah. Dan menjelaskan hal-ihwal para perawi merupakan salah satu sarana untuk menjaga sunnah. Meskipun ajaran dasar Islam melarang umatnya menyebut dan mengungkap sifat jelek seseorang, namun menyelidiki dan mengungkap sifat jelek para periwayat hadis bukanlah hal yang dilarang, karena tujuan utamanya adalah untuk memelihara kemurnian dan kebenaran hadis Rasulullah SAW dari periwayatan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Nuruddin Atr, muhaddis dari Suriah, ulama sepakat bahwa jarh wa ta’dil adalah suatu hal yang disyariatkan (di anjurkan oleh agama), bahkan termasuk hal yang diwajibkan, karena perlu untuk memelihara sumber ajaran agama.
    Para ulama sepakat bahwa Jarh wat Ta’dil dibolehkan dalam syariat Islam bahkan Jarh wat Ta’dil mutlak diperlukan untuk melihat kondisi suatu Hadits dari sisi sanadnya. Proses Jarh wat Ta’dil bukan termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama, karena Jarh wat Ta’dil dilakukan untuk mengetahui bagaimana kwalitas kepribadian seorang rawi, apakah ia termasuk orang yang boleh diterima Haditsnya atau tidak.[9]
    Dalil disyariatkannya jarh wa ta’dil terhadap para periwayat hadis tersebut adalah antara lain:
    Firman Allah Azza wa Jalla: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.” (Al-Hujurat: 6)
    Di tempat lain, Allah SWT juga berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)
    Berkenaan dengan al-Jarh, Rasulullah SAW. bersabda: “Seburuk-buruk saudara keluargaku adalah dia.[10]
    Dan berkenaan dengan ta’dil, beliau bersabda: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah.[11]

    E. Fungsi dan Kegunaan
    Ilmu Jarh wat Ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah Jarh Wat Ta’dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak dapat memperoleh simpulan yang benar ketika membaca biografi perawi dalam kitab-kitab biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah Jarh dan Ta’dil, maksud, dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan Ta’dil yang tertinggi sampai pada tingkatan Jarh yang paling rendah.[12]

    F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil
    Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abu Hatim Ar Razi dalam mukadimah kitab AI-Jarh Wat-Ta’dil telah membagi lafal jarh dan ta’dil menjadi empat tingkatan dan menjelaskan nilainya. Az-Zahabi dan Al-Iraqi menambah satu tingkatan Ta’dil yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut Ar Razi (Ibnu Abi Hatim), yaitu penilaian siqah yang djulang-ulang, seperti siqatun-siqatun atau siqatun-hudatun. Pada akhirnya Al Hafiz lbnu Hajar Al-Asqalani menambah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan tambahan Az-Zahabi dan Al Iraqi, yaitu sighat tafdil, seperti ausaqun nas, atau asbatunnas. Sehingga tingkatan ta’dil akhirya menjadi enam. Demikian juga ulama lain menambahkan dua tingkatan jarh selain beberapa tingkatan yang telah dikemukakan Ibnu Abi Hatim, sehingga lafal dan tingkatan jarh menjadi enam juga.

    Tingkat dan Bentuk Lafadz-lafadz Ta’dil

    No
    Bentuk Lafadz
    Status Kehujjahan
    1
    Lafadz berwazan af’al al-tafdhil yaitu Kata-kata yang menunjukkan penilaian sangat siqah atau mengikuti wazan: af’alu. Kata-kata ini menempati tingkatan tertinggi.
    ﺍﻟﻨﺎﺲ ﺍﺜﺑﺕ
    ﺍﻮﺛﻖ ﺍﻟﻨﺎﺲ ﺤﻔﻈﺎ
    ﻮ ﻋﺪﺍﻠﺔ
    ﺍﻠﺜﺑﺕ ﻔﻰ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺍﻟﻳﻪ
    Ta’dil pada tingkat 1,2 dan 3 dapat dijjadikan hujjah, sekalipun tingkatan sebagian berbeda dengan tingkatan yang lain
    2
    Lafadz yang diulang, atau kata majmuk setara atau Kata-kata yang dikokohkan dengan satu atau dua dari sifat-sifat penilaian siqah.
    ﺜﺒﺕ ﺜﺒﺕ ﺜﻗﺔ ﺜﻗﺔ
    3
    Lafadz mufrad yang bermakna dhabit atau Kata-kata yang menunjukkan penilaian siqah tanpa penguat.
    ﺜﻗﺔ ﻤﺘﻗﻦ ﺜﺑﺕ
    ﺿﺎﺑﻄ ﻋﺪﻞ
    4




    Lafadz yang tidak menunjukkan adanya ke-dhabith-an atau Kata-kata yang menunjukkan keadilan (ta’dil) tanpa diterangkan kedabitannya.
    ﻻﺑﺄﺱﺑﻪ ﻤﺄﻤﻮﻥ ﺼﺪﻭﻖ
    Ta’dil pada tingkatan 4 dan 5 tak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi hadits-hadits mereka dapat dijadikan ikhtibar dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits lain yang lebih kuat, jika hadits perawi tingkatan ini sesuai dengan hadits yung lebili kuat maka hadits mereka dapat dijadikan hujjah,.jika sebaliknya, maka hadits mereka tak dapat dijadikan hujjah

    5
    Lafadz yang tidak menunjukkan kesangatan (muhalaghah) atau
    Kata-kata yang tidak menunjukkan penilaian siqah atau penilaian cacat.
    ﺍﻠﺼﺪﻖ ﻣﺣﻞ
    ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ ﺠﻳﺪ
    ﺣﺳﻦ ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ
    ﻮﺴﻃ ﻔﻼﻦ


    6


    Lafadz-Lafadz yang diiringi Iafazh Musyiah (insya Allah) : atau dimulai dengan pengharapan atau ditashghirkan (dianggap kecil) atau Kata-kata yang mendekati penilain cacat (tajrih).


    ﺍﷲ ﺍﻨﺷﺎﺀ ﺼﺪﻮﻖ
    ﺑﻪ ﺑﺄﺲ ﺑﺎﻦ ﺍﺭﺠﻮ ﻔﻼﻥ
    ﺼﻮﻳﻠﺢ ﻔﻼﻥ
    ﺑﻪ ﻴﻌﺗﺑﺭ ﻔﻼﻦ


    Sedangkan ta’dil pada tingkatan terakhir maka hadits yang diriwayatkan rawi dari tingkatan ini tak dapat diterima, akan tetapi hadits mereka boleh saja ditulis, sebagai i’tibar bukan sebagai ikhtibar




    G.  Beberapa Masalah dalam Jarh wat Ta’dil 
    Jika terdapat pertentangan penilaian di kalangan ulama hadis terhadap seorang periwayat, misalnya sebagian ulama hadis menilainya sebagai periwayat yang ‘adil, sedangkan sebagian lain menilainya sebagai periwayat yang terkena jarh, maka terhadap persoalan ini terlebih dahulu diperlukan kajian lebih jauh, sebab boleh jadi pertentangan itu hanya lahiriah, sedang hakikatnya tidaklah bertentangan. Sebagai contoh, adakalanya seorang periwayat dinilai terkena jarh oleh sebagian ulama hadis karena mereka mengenalnya sebagai orang fasik, tetapi sebagian lain mengetahui sekali bahwa periwayat tersebut telah tobat dengan sebenarnya. Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini tidak ada pertentangan, karena keduanya dapat dikompromikan. Periwayat tersebut dinilai jarh sesuai dengan sifat fasiknya, dan dinilai ‘adil setelah ia tobat dengan sebenarnya. Riwayatnya ketika fasik ditolak dan riwayat yang disampaikannya setelah tobat dapat diterima.
    Apabila terdapat perlawanan atau ta’arudh antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan, terdapat beberapa pendapat :
    1. Jarh didahulukan secara mutlak walaupun mu’adilnya lebih banyak daripada jarih-nya. Sebab bagi jarih mempunyaji kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang dibedakan menurut lahirnya saja.
    2. Ta’dil didahulukan dari jarh, karena dalam mengabaikan rawi kurang tepat dalam hal sebab pencatatannya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang.
    3. Ta’dil didahulukan bila jumlah mu’addil lebih banyak daripada jarih-nya, lebih banyak dipandang lebih kuat.
    4. Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang merajihkan
    Dari tajrih atau ta’dil yang menghasilkan jarh-nya seorang rawi, sebaiknya masih harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan sebab mungkin saja ada kelemahan dalam kondisi jarih atau sebab jarh-nya, atau tajrih-nya dulu keras.
    Apabila tidak ditemukan hal-hal yang dapat mengkompromikan pertentangan penilaian tersebut, maka dalam menanggapi persoalan ini di kalangan ulama hadis terdapat tiga cara penyelesaian :
    1. Jumhur ulama hadis berpendapat bahwa didahulukan penilaian jarh daripada penilaian adil meskipun yang menilai adil lebih banyak daripada yang menilai jarh. Alasannya ialah karena ulama yang menilainya sebagai terkena jarh meneliti hal-hal yang tidak terungkap oleh ulama yang menilainya sebagai ‘adil, karena pengertian jarh lebih teliti kajiannya daripada ta’dil. Atas dasar ini lahirlah ungkapan jarh muqaddam ‘ala ta’dil (penilaian jarh didahulukan daripada penilaian ta’dil).
    2. Imam as-Suyuti, ketika mensyarah kitab hadis al-Taqrib wa al-Taisir yang disusun Imam al-Nawawi, mengatakan bahwa apabila banyak yang menilai ta’dil daripada jarh, didahulukan atau dipedomani penilaian ta’dil daripada jarh. Alasannya ialah bahwa banyaknya ulama yang menilai ta’dil menunjukkan bahwa itulah yang kuat dan ditinggalkan yang lemah.
    3. Imam an-Nasa’i tidak berpihak pada salah satu pun di antara dua penilaian yang bertentangan tersebut, kecuali apabila ditemukan dalil lain yang menunjukkan kuatnya salah satu di antara keduanya. Selama tidak ditemukan dalil lain yang menguatkan salah satunya, maka riwayatnya dibekukan, tidak dikategorikan diterima dan tidak pula ditolak.
























    DAFTAR PUSTAKA

    Abdu Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdu al-Hadi, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil: Qawaiduhu wa Aimmatuhu, Mesir: Darun Nasyri lil Azhar, 1998.
    Amin Abu Lawi, Ilmu Ushul Jarhi wat Ta’dili, Makkah: Dar ibn Afwan, 1997. cet.ke-1
    Endang Soetari, Ad., M.Si, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, cet.ke-2.
    Ensklopedi Hadis, Jakarta: Intermasa, 2003. cet. ke-1
    Mahmud at-Tahhan, Ushulul Takhrij wa Dirasatul Asanid, Alih bahasa Ridlwan Nasir, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
    Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits, Terjemah M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
    Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth.
    Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri’ al-Islami, Sunnah dan peranannya dalam penetapan syari’at Islam, penerjemah, Nurcholish Madjid, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet.ke-3, 1995, h. 80-84







    [1] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth., ii/76-71.

    [2] Ensklopedi Hadis, Jakarta: Intermasa, 2003, h.36-63
    [3] Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri’ al-Islami, Sunnah dan Peranannya dalam penetapan syari’at Islam, penerjemah, Nurcholish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.ke-3, 1995, h.80-84
    [4] Lisan al-’Arab, pokok kata J-R-H, hal. 246, juz III
    [5] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits, Terjemah M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet.ke-2, h. 233
    [6] Lisan al-’Arab, pokok kata ‘A-D-L, hal. 456, juz XIII
    [7] Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits, hal. 233
    [8] Amin Abu Lawi, Ilmu Ushul Jarhi wat Ta’dili, Makkah: Dar ibn Afwan, 1997, cet. 1, hal. 72
    [9] Abdu Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdu al-Hadi, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil: Qawaiduhu wa Aimmatuhu, Mesir: Darun Nasyri lil Azhar, 1998.
    [10] al-I’lan Bi at-Taubikh Li Man Dzamma at-Tarikh, hal. 52 dan al-Kifayah, hal. 38-39. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis, h.234
    [11] Ditakhrij oleh Imam Ahmad dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, h.235
    [12] Mahmud at-Tahhan, Ushulul Takhrij wa Dirasatul Asanid, Alih bahasa Ridlwan Nasir, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, h.100-104

  • Inilah kisah cinta suci antara Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Cinta sahabat Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra memang luar biasa indah, cinta yang selalu terjaga kerahasiaannya dalam sikap, kata, maupun ekspresi. Hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan.








    Konon, karena saking teramat rahasianya, setan saja tidak tahu urusan cinta diantara keduanya. Sudah lama Ali terpesona dan jatuh hati pada Fatimah, ia pernah tertohok dua kali saat Abu Bakar dan Umar melamar Fatimah. Sementara dirinya belum siap untuk melakukannya.
    Namun, kesabaran beliau berbuah manis, lamaran kedua orang sahabat yang sudah tidak diragukan lagi keshalihannya tersebut ternyata ditolak oleh Rasulullah. Hingga akhirnya Ali memberanikan diri, dan ternyata lamarannya yang mesti hanya bermodal baju besi diterima oleh Rasulullah.


    Di sisi lain, Fatimah ternyata juga sudah lama memendam cintanya kepada Ali. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali,
    "Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya",
    Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya.
    Sambil tersenyum Fatimah Az-Zahra menjawab, "Pemuda itu adalah dirimu".
    Diceritakan, Ali Bin Abi Thalib waktu itu ingin melamar Fatimah, putri nabi Muhammad saw. Tapi karena dia tidak mempunyai uang untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat itu. Ali segera berhijrah untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Pada saat Ali sedang bekerja keras, ia mendengar kabar kalau Abu Bakar ternyata melamar Fatimah. Wah, bagaimana agaknya perasaan Ali, wanita yang sudah dia inginkan dilamar oleh seseorang yang ilmu agamanya lebih hebat dari dia. Tetapi Ali tetap bekerja dengan giat.
    Lalu setelah beberapa lama Ali mendengar kabar kalau lamaran Abu Bakar kepada Fatimah ditolak. Ali tertegun dan sedikit bergembira tentunya, kata Ali “waah, saya masih punya kesempatan ”. Setelah mendengar kabar itu, Ali bekerja lebih giat lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar Fatimah. Tapi tak lama setelah itu, Ali mendengar kabar kalau Umar Bin Khatab melamar Fatimah. Wah, sekali lagi Ali mendahulukan orang lain, bagaimana perasaannya? Tapi tak berapa lama Ali mendengar kalau lamaran Umar bin Khatab ditolak. betapa senangnya Ali, mendengar kabar itu.
    Tapi tak lama, kesenangan itu kembali pudar  karena terdengar kabar lagi, ternyata Utsman bin Affan melamar Fatimah. ini sudah yang ketiga kalinya, kata Ali “mungkin kali ini diterima. Kalaulah Usman tidak melamar Fatimah secepat ini, InsyaAllah tidak lama lagi saya akan melamar Fatimah, tapi , apa hendak dikata , adakah mau mengalah?".
    Dan sekali lagi, tidak berapa lama dari itu, kabar ditolaknya lamaran Utsman bin Affan pun terdengar lagi, betapa bahagianya Ali. Semangat Ali untuk melamar Fatimah pun berkobar lagi, dan semangat itu didukung oleh sahabat-sahabat Ali. Kata sahabatnya “ pergilah Ali, lamar Fatimah sekarang, tunggu apa lagi?  kamu kan sudah bekerja keras selama ini, kamu juga sudah mengumpulkan harta dan cukup untuk membeli mahar. tunggu apa lagi? Tunggu yang ke4 kalinya? baik cepat!”
    Dengan segera Ali memeberanikan diri untuk menghadap ke Nabi Muhammad saw. dengan tujuan melamar Fatimah, dan sahabat-sahabat tahu? lamarannya diterima!
    Ternyata memang dari dulu Fatimah az-Zahra sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah az-Zahra. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saatnya tiba, sampai saatnya Ijab Kabul disahkan. Walaupun Ali sudah merasakan kekecewaan 3 kali mendahulukan orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar juga.
    “Jodoh memang tidak kemana”,dari cerita itu, lebih memperjelas lagi kan bahwa “Cinta itu, mengambil kesempatan , atau mempersilakan yang lain”
    Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita, Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta. Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut disekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada.. barangkali, kita saja yang tidak mengetahuinya. Dan inilah kisah dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan tersebut “Bukan janj-janji”
    Akhirnya Ali pun menikahi Fatimah az-Zahra
    Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan sahabat-sahabatnya tapi Nabi berkeras agar ia membayar bakinya, Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah.
    Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali adalah gentleman sejati.,“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang.
    Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali.
    Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fatimah berkata kepada Ali,
    “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
    Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
    Sambil tersenyum Fatimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”


    Dalam riwayat lain diceritakan:
    Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali:
    Fatimah : “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu, aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, sholeh, cerdas dan baik sepertimu”.
    Ali : “Aku pun begitu wahai Fatimahku sayang, aku sangat bersyukur kepada Allah akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahanku denganmu.”
    Fatimah : (berkata dengan lembut) “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita”.
    Ali : “Tentu saja istriku, silahkan, aku akan mendengarkanmu…”.
    Fatimah : “Wahai Ali suamiku, maafkan aku, tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, dan aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu, kau adalah imamku maka aku pun ikhlas melayanimu, mendampingimu, mematuhimu dan menaatimu, marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhoi Allah”
    Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama, suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan sholehah. Tapi Ali juga terkejut dan agak sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa agak sedih karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah, Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
    Namun Ali memang sungguh pemuda yang sangat baik hati, ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah, tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa agak bersalah jika hati Fatimah terluka, karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan didalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi disisi lain Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak, ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.
    Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali suamiku sayang, Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu, demi Allah aku hanya ingin jujur padamu, saat ini kaulah pemilik cintaku, raja yang menguasai hatiku.”.
    Ali masih saja terdiam, bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu.
    Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usah lah kau pikirkan kata-kataku itu, marilah kita berdua nikmati malam indah kita ini. Ayolah sayang, aku menantimu Ali”.
    Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu, kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu, kau pun juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti, aku bisa merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walaupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”.
    Fatimah pun tersenyum mendengar kata-kata Ali, Ali diam sesaat sambil merenung, tak terasa mata Ali pun mulai keluar air mata, lalu dengan sangat tulus Ali berkata lagi, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikit pun dari dirimu, kau masih suci. Aku rela menceraikanmu malam ini agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu, aku akan ikhlas, lagi pula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan, sungguh aku sangat mencintaimu, demi Allah aku tak ingin kau terluka… Menikahlah dengannya, aku rela”.
    Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali, Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya, ketika itu juga Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, sebelum aku menceraikanmu, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu?, aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu, namun izinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.”
    Airmata Fatimah mengalir semakin deras, Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu,“Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah."
    Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya. Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, Awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu, aku hanya ingin menggodamu, sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah”.
    Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah?, sudahlah tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”.
    Fatimah pun kembali memeluk Ali dengan erat, tapi kali ini dengan dekapan yang mesra. Lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu, aku memendamnya bertahun-tahun, sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya, tapi aku terlalu takut, aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini, aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila ku bertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku, ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku, pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya”
    Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada disisiku, aku sedang memeluk mesra pemuda itu, tapi kok dia diam saja ya, padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya, aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar, ia juga sangat mencintaiku…”
    Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu…?”
    Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku”.
    Subhanallah, Betapa Indahnya Kisah Cinta antara Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Maha Suci Allah, Dia-lah yang mengatur segalanya. Dia-lah yang telah mengatur jodoh, rezeki, pertemuan, dan maut dari setiap insan di dunia.
    Pesan Rasulullah kepada Fatimah az-Zahra
    Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, "Puteriku, maukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?"
    "Tentu sekali ya Rasulullah," jawab Siti Fatimah kegirangan.
    Rasulullah saw. bersabda, "Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai shalat, hendaklah membaca 'Subhanallah' sepuluh kali, 'Alhamdulillah' sepuluh kali dan 'Allahu Akbar' sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca 'Subhanallah', 'Alhamdulillah' dan 'Allahu Akbar' ini sebanyak tiga puluh tiga kali."
    Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti Fatimah. Semua kerja rumah dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah.
    Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya senantiasa mengingat-Nya.
    Cerita ini adalah dikisahkan menurut penceritaan yang mudah untuk difahami,mudah-mudahan bermanfaat.
    "Jika kamu memelihara dirimu dari suatu perkara yang haram karena Allah swt. diatas wanita yang dicintaimu dengan banyak bersabar. Insya Allah, Allah akan menghalalkannya untukmu atas kesabaranmu karena Allah"





    http://talimulquranalasror.blogspot.co.id/2013/07/kisah-cinta-ali-bin-abi-thalib-dengan_23.html