(Evaluasi Negatif dan Positifnya Perawi
Hadis)
A. Latar Belakang
Histori
Terbunuhnya
Umar bin al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu
Kritik Hadis. Namun terbunuhnya Utsman bin ‘Affan pada tahun 36 H, begitu pula
terbunuhnya al-Husein bin Ali pada tahun 61 H, yang diiringi lahirnya
kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap
perkembangan ilmu Kritik Hadis. Karena untuk memperoleh legitimasinya
masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari Hadis Nabi s.a.w. Apabila
Hadis yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat Hadis palsu.
Sejak saat
itu para ulama kritikus Hadis dalam menyeleksi Hadis tidak hanya mengkritiknya
dari segi matannya, melainkan juga dengan meneliti identitas periwayat
Hadis tersebut. Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya
kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad. Namun setelah terjadi
fitnah (terbunuhnya Utsman bin Affan), apabila mendengar Hadis mereka selalu
menanyakan dari siapa Hadis itu diperoleh. Apabila diperoleh dari Ahlus-Sunnah,
Hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari
orang-orang penyebar bid’ah, Hadis itu ditolak. Maka sejak saat itu, para
ulama ahli Hadis membuat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk
rawi-rawi yang dapat diterima Hadisnya, di samping kriteria-kriteria teks Hadis
yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam.
Kajian
masalah kualifikasi perawi hadis tumbuh dan berkembang menjadi suatu cabang
ilmu hadis yang disebut ‘ilm jarh wa ta’dil, yakni suatu ilmu yang
mempelajari perihal para periwayat hadis dari segi sifat jelek dan sifat baik
(terpuji) yang dimilikinya untuk mengetahui apakah dengan demikian riwayatnya
dapat diterima ataukah harus ditolak.
Ilmu ini
tumbuh dan berkembang seiring dengar pertumbuhan dan perkembangan periwayatan
hadis itu sendiri, karena untuk dapat menyeleksi hadis yang dapat diterima atau
ditolak, haruslah dengan mengetahui keadaan para periwayatnya, yakni dengan
melakukan jarh wa ta’dil. Para sahabat, para tabiin, dan ulama hadis
generasi berikutnya tidak mau begitu saja menerima hadis yang sampai kepada
mereka, kecuali apabila yang menyampaikannya itu orang yang mereka kenal dan
dapat dipercaya.
Di kalangan
sahabat yang terkenal melakukan jarh dan ta’dil ialah Abu Bakar as-Siddiq, Umar
bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, dan Zaid bin Sabit. Dari kalangan tabiin:
asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, al-A’masy, dan Syu’bah. Generasi selanjutnya di
antaranya ialah Ibnu al-Mubarak, Ibnu Uyainah, Ibnu Mahdi, Yahya bin Ma’in, dan
Imam Ahmad bin Hanbal, di samping imam-imam hadis terkenal, seperti Imam
al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
Para pakar
Ilmu-ilmu Hadis menilai bahwa abad pertama Hijriah merupakan periode
pertumbuhan Ilmu-ilmu Hadis. Sementara sejak awal abad kedua sampai awal abad
ketiga dinilai sebagai peiriode penyempurnaan. Sedangkan masa berikutnya, sejak
awal abad ketiga sampai pertengahan abad keempat merupakan masa pembukuan. Pada
masa ini para ahli Hadis mulai membukukan Ilmu-ilmu Hadis, meskipun secara
parsial. Misalnya, Yahya bin Ma’in (w 234 H) menulis Tarikh al-Rijal,
Ahmad bin Hanbal (w 241 H) menulis al-I’lal wa Ma’rifah al-Rijal.
Bahkan sebelum mereka, Muhammad bin Sa’d (w 230 H) telah menulis al-Tabaqat
al-Kubra ,
Ibnu Abi Hatim al-Razi (w 327 H) juga menulis buku kritik terhadap rawi-rawi
Hadis, berjudul al-jarh wa al-Ta’dil. Sementara Ibnu Hibban al-Busti
(w 354 H) menulis buku yang khusus mengkritik rawi-rawi yang ditolak Hadisnya,
berjudul Kitab al-Majruhin. Imam Bukhari (w 256 H) juga menulis buku
kritik Rawi Hadis, berjudul al-Tarikh al-Kabir.
Al-jarh dan al-ta’dil adalah dua istilah
dalam ilmu hadits, yang artinya melukai
dan mengadilkan, yakni, memandang sebagai adil’, yakni, kritik negatif dan
positif kepada para tokoh penutur hadits. Dengan al-jarh, segi-segi kelemahan seorang tokoh penutur hadits
diungkapkan, dan dengan al-ta’dil
segi-segi kekuatannya yang diungkapkan. Dengan begitu dapat diperkirakan, atau
diketahui, sampai sebuah hadis yang diriwayatkan oleh orang bersangkutan dapat
dipercaya (shahih, sahih) atau tidak.
Al-Jarh ( ﺍﻟﺠﺭﺡ
) secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata ﻳﺟﺮﺡ
ﺟﺮﺡ - yang berarti seseorang membuat luka pada
tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
Al-Jarh
secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya. Sedang “at-Tajrih ” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat
yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
AI-Adl ( ﺍﻟﻌﺪﻝ
) secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu
lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima
kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Sedangkan AI-Adl secara terminologis berarti orang
yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima, bila dipenuhi pula
syarat-syarat yang membersihkannya sehingga tampak sifat adilnya dan dapat
diterima khabarnya.
Dengan
demikian, Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil berarti Ilmu yang membahas
hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka atau ilmu
yang membahas kaidah-kaidah untuk menentukan status perawi hadis, baik yang
berkaitan dengan kecacatan atau keadilannya dengan lafadz-lafadz khusus, baik
untuk menerima Hadits maupun menolaknya.
Tajrih rawi
berkaitan dengan hal-hal sebagal berikut:
1)
Bid’ah, yakni mempunvai i’tikad
beriawanan dengan dasar syariat. Orang tersebut digolongkan sebagal fasik.
Bid’ah juga bisa digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayal
bahwa Tuhan menyatu dengan Ali dan imam-iman lain, dan mempercayai bahwa Ali
akan kembali kedunia sebelum kiamat.
2)
Mukhalafah, yakni perlawanan
sifat adil dan dhabith seorang rawi dengan rawi yang lain yang lebih kuat yang
tidak dapat dijama’kan
atau dikompromikan.
3)
Ghalath, yakni kesalahan,
seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan
yang dilakukan .
4)
Jahalatul hal, yakni tidak
diketahul identitasnya.
5)
Da’wa al-Inqitha’, yakni
mendakwa, terputusnya sanad.
Kaidah Tajrih dan
Ta’dil ada dua macam:
- Naqd
Khariji, atau kritik eksternal, yaitu tentang cara dan sahnya riwayat dan
tentang kapasitas rawi.
- Naqd
Dakhili, kritik internal, yaitu tentang makna Hadits dan syarat
keshahihannya.
Syarat pentajrihan
dan pen-Ta’dil-an adalah:
- Berilmu
- Taqwa,
- Wara,
- Jujur,
- Menjauhi
fanatik golongan,
- Mengetahul
sebab-sebab ta’dil dan tajrih (mufassar)
Kaidah-kaidah umum syari’at menunjukkan
kewajiban memelihara sunnah. Dan menjelaskan hal-ihwal para
perawi merupakan salah satu sarana untuk menjaga sunnah. Meskipun ajaran dasar
Islam melarang umatnya menyebut dan mengungkap sifat jelek seseorang, namun
menyelidiki dan mengungkap sifat jelek para periwayat hadis bukanlah hal yang
dilarang, karena tujuan utamanya adalah untuk memelihara kemurnian dan
kebenaran hadis Rasulullah SAW dari periwayatan orang-orang yang tidak dapat
dipercaya. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Nuruddin Atr, muhaddis dari
Suriah, ulama sepakat bahwa jarh wa ta’dil adalah suatu hal yang
disyariatkan (di anjurkan oleh agama), bahkan termasuk hal yang diwajibkan,
karena perlu untuk memelihara sumber ajaran agama.
Para ulama sepakat bahwa Jarh wat Ta’dil dibolehkan dalam syariat Islam
bahkan Jarh wat Ta’dil mutlak diperlukan untuk melihat kondisi suatu
Hadits dari sisi sanadnya. Proses Jarh wat Ta’dil bukan termasuk
ghibah yang diharamkan dalam agama, karena Jarh wat Ta’dil dilakukan
untuk mengetahui bagaimana kwalitas kepribadian seorang rawi, apakah ia
termasuk orang yang boleh diterima Haditsnya atau tidak.
Dalil disyariatkannya jarh wa ta’dil
terhadap para periwayat hadis tersebut adalah
antara lain:
Firman Allah Azza wa Jalla: “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu.” (Al-Hujurat: 6)
Di tempat lain, Allah SWT juga
berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)
Berkenaan dengan al-Jarh, Rasulullah SAW. bersabda: “Seburuk-buruk saudara
keluargaku adalah dia.”
Dan berkenaan dengan ta’dil, beliau
bersabda: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah
pedang dari pedang-pedang Allah.
Ilmu Jarh wat Ta’dil sangat
berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad
terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah Jarh Wat Ta’dil yang
telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat
diterima, cara menetapkan keadilan dan kedabitan perawi dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak dapat memperoleh simpulan yang
benar ketika membaca biografi perawi dalam kitab-kitab biografi, jika mereka
tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah Jarh dan Ta’dil,
maksud, dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari
tingkatan Ta’dil yang tertinggi sampai pada tingkatan Jarh yang paling rendah.
F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil
Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abu Hatim
Ar Razi dalam mukadimah kitab AI-Jarh Wat-Ta’dil telah membagi lafal jarh
dan ta’dil menjadi empat tingkatan dan menjelaskan nilainya. Az-Zahabi dan
Al-Iraqi menambah satu tingkatan Ta’dil yang lebih tinggi daripada tingkatan
pertama menurut Ar Razi (Ibnu Abi Hatim), yaitu penilaian siqah yang
djulang-ulang, seperti siqatun-siqatun atau siqatun-hudatun. Pada akhirnya Al
Hafiz lbnu Hajar Al-Asqalani menambah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada
tingkatan tambahan Az-Zahabi dan Al Iraqi, yaitu sighat tafdil, seperti ausaqun
nas, atau asbatunnas. Sehingga tingkatan ta’dil akhirya menjadi
enam. Demikian juga ulama lain menambahkan dua tingkatan jarh selain beberapa tingkatan yang telah dikemukakan Ibnu Abi
Hatim, sehingga lafal dan tingkatan jarh menjadi enam juga.
Tingkat dan Bentuk Lafadz-lafadz
Ta’dil
No
|
Bentuk Lafadz
|
Status Kehujjahan
|
1
|
Lafadz berwazan af’al al-tafdhil yaitu
Kata-kata yang menunjukkan penilaian sangat siqah atau mengikuti wazan:
af’alu. Kata-kata ini menempati tingkatan tertinggi.
|
ﺍﻟﻨﺎﺲ ﺍﺜﺑﺕ
ﺍﻮﺛﻖ ﺍﻟﻨﺎﺲ ﺤﻔﻈﺎ
ﻮ ﻋﺪﺍﻠﺔ
ﺍﻠﺜﺑﺕ ﻔﻰ
ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺍﻟﻳﻪ
|
Ta’dil pada tingkat 1,2 dan 3 dapat
dijjadikan hujjah, sekalipun tingkatan sebagian berbeda dengan tingkatan yang
lain
|
2
|
Lafadz yang diulang, atau kata majmuk
setara atau Kata-kata yang dikokohkan dengan satu atau dua dari sifat-sifat
penilaian siqah.
|
ﺜﺒﺕ ﺜﺒﺕ
ﺜﻗﺔ ﺜﻗﺔ
|
3
|
Lafadz mufrad yang bermakna dhabit atau
Kata-kata yang menunjukkan penilaian siqah tanpa penguat.
|
ﺜﻗﺔ ﻤﺘﻗﻦ
ﺜﺑﺕ
ﺿﺎﺑﻄ ﻋﺪﻞ
|
4
|
Lafadz yang tidak menunjukkan adanya
ke-dhabith-an atau Kata-kata yang menunjukkan keadilan (ta’dil) tanpa
diterangkan kedabitannya.
|
ﻻﺑﺄﺱﺑﻪ ﻤﺄﻤﻮﻥ
ﺼﺪﻭﻖ
|
Ta’dil pada tingkatan 4 dan 5 tak dapat
dijadikan hujjah, akan tetapi hadits-hadits mereka dapat dijadikan ikhtibar
dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits lain yang lebih kuat, jika
hadits perawi tingkatan ini sesuai dengan hadits yung lebili kuat maka hadits
mereka dapat dijadikan hujjah,.jika sebaliknya, maka hadits mereka tak dapat
dijadikan hujjah
|
5
|
Lafadz yang tidak menunjukkan kesangatan
(muhalaghah) atau
Kata-kata yang tidak menunjukkan
penilaian siqah atau penilaian cacat.
|
ﺍﻠﺼﺪﻖ ﻣﺣﻞ
ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ ﺠﻳﺪ
ﺣﺳﻦ ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ
ﻮﺴﻃ ﻔﻼﻦ
|
6
|
Lafadz-Lafadz yang diiringi Iafazh
Musyiah (insya Allah) : atau dimulai dengan pengharapan atau ditashghirkan
(dianggap kecil) atau Kata-kata yang mendekati penilain cacat (tajrih).
|
ﺍﷲ ﺍﻨﺷﺎﺀ
ﺼﺪﻮﻖ
ﺑﻪ ﺑﺄﺲ
ﻻ ﺑﺎﻦ
ﺍﺭﺠﻮ ﻔﻼﻥ
ﺼﻮﻳﻠﺢ ﻔﻼﻥ
ﺑﻪ ﻴﻌﺗﺑﺭ
ﻔﻼﻦ
|
Sedangkan ta’dil pada tingkatan terakhir
maka hadits yang diriwayatkan rawi dari tingkatan ini tak dapat diterima,
akan tetapi hadits mereka boleh saja ditulis, sebagai i’tibar bukan sebagai
ikhtibar
|
G. Beberapa Masalah dalam Jarh wat Ta’dil
Jika
terdapat pertentangan penilaian di kalangan ulama hadis terhadap seorang
periwayat, misalnya sebagian ulama hadis menilainya sebagai periwayat yang
‘adil, sedangkan sebagian lain menilainya sebagai periwayat yang terkena jarh,
maka terhadap persoalan ini terlebih dahulu diperlukan kajian lebih jauh, sebab
boleh jadi pertentangan itu hanya lahiriah, sedang hakikatnya tidaklah
bertentangan. Sebagai contoh, adakalanya seorang periwayat dinilai terkena jarh
oleh sebagian ulama hadis karena mereka mengenalnya sebagai orang fasik, tetapi
sebagian lain mengetahui sekali bahwa periwayat tersebut telah tobat dengan
sebenarnya. Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini tidak ada pertentangan,
karena keduanya dapat dikompromikan. Periwayat tersebut dinilai jarh sesuai
dengan sifat fasiknya, dan dinilai ‘adil setelah ia tobat dengan sebenarnya.
Riwayatnya ketika fasik ditolak dan riwayat yang disampaikannya setelah tobat
dapat diterima.
Apabila
terdapat perlawanan atau ta’arudh antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi,
yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama yang lain
men-tajrih-kan, terdapat beberapa pendapat :
- Jarh
didahulukan secara mutlak walaupun mu’adilnya lebih banyak daripada
jarih-nya. Sebab bagi jarih mempunyaji kelebihan ilmu yang tidak diketahui
oleh mu’addil dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang
dibedakan menurut lahirnya saja.
- Ta’dil
didahulukan dari jarh, karena dalam mengabaikan rawi kurang tepat dalam
hal sebab pencatatannya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang
mu’addil tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang.
- Ta’dil
didahulukan bila jumlah mu’addil lebih banyak daripada jarih-nya, lebih
banyak dipandang lebih kuat.
- Tetap
dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang merajihkan
Dari
tajrih atau ta’dil yang menghasilkan jarh-nya seorang rawi, sebaiknya masih
harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan sebab mungkin
saja ada kelemahan dalam kondisi jarih atau sebab jarh-nya, atau tajrih-nya
dulu keras.
Apabila
tidak ditemukan hal-hal yang dapat mengkompromikan pertentangan penilaian
tersebut, maka dalam menanggapi persoalan ini di kalangan ulama hadis terdapat
tiga cara penyelesaian :
- Jumhur
ulama hadis berpendapat bahwa didahulukan penilaian jarh daripada
penilaian adil meskipun yang menilai adil lebih banyak daripada yang
menilai jarh. Alasannya ialah karena ulama yang menilainya sebagai terkena
jarh meneliti hal-hal yang tidak terungkap oleh ulama yang menilainya
sebagai ‘adil, karena pengertian jarh lebih teliti kajiannya daripada
ta’dil. Atas dasar ini lahirlah ungkapan jarh muqaddam ‘ala ta’dil
(penilaian jarh didahulukan daripada penilaian ta’dil).
- Imam
as-Suyuti, ketika mensyarah kitab hadis al-Taqrib wa al-Taisir yang
disusun Imam al-Nawawi, mengatakan bahwa apabila banyak yang menilai ta’dil
daripada jarh, didahulukan atau dipedomani penilaian ta’dil daripada jarh.
Alasannya ialah bahwa banyaknya ulama yang menilai ta’dil menunjukkan
bahwa itulah yang kuat dan ditinggalkan yang lemah.
- Imam
an-Nasa’i tidak berpihak pada salah satu pun di antara dua penilaian yang
bertentangan tersebut, kecuali apabila ditemukan dalil lain yang
menunjukkan kuatnya salah satu di antara keduanya. Selama tidak ditemukan
dalil lain yang menguatkan salah satunya, maka riwayatnya dibekukan, tidak
dikategorikan diterima dan tidak pula ditolak.
Lisan al-’Arab, pokok kata J-R-H,
hal. 246, juz III
al-I’lan Bi at-Taubikh Li Man Dzamma
at-Tarikh, hal. 52 dan al-Kifayah, hal. 38-39. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul
Hadis, h.234