Shopping Cart

Total Items:
SubTotal:
Tax Cost:
Shipping Cost:
Final Total:
Diberdayakan oleh Blogger.
  • Apa itu Alkemi ? Pernahkah anda mendengar istilah Alkemi? Alkemi adalah sebutan yang dikenal sebagai sebuah ilmu yang mampu mengubah besi menjadi emas. Dalam banyak kisah, beberapa orang menganggap ilmu ini hanya sebagai sebuah sihir belaka, tetapi yang lain percaya bahwa ilmu itu benar-benar ada. Dan, siapa yang tak tergiur untuk bisa menguasai ilmu alkemi? Hanya dengan kemampuan alkemi, ia bisa mengubah besi menjadi emas dan tentu menjadi kaya-raya.








    Mau melihat gambaran kisah sang alkemi ? berikut ceritanya :

    Alkisah, di sebuah negara di Timur ada seorang Raja yang hendak mencari orang yang benar-benar mengerti tentang alkemi. Sudah banyak orang datang pada Raja, tetapi ketika diuji, mereka ternyata tidak mampu mengubah besi menjadi emas.

    Suatu ketika seorang menteri berkata pada Raja bahwa di sebuah desa terdapat seseorang yang hidup sederhana dan bersahaja. Orang-orang di sana mengatakan bahwa ia menguasai ilmu alkemi. Segera saja Raja mengirimkan utusan untuk memanggil orang itu. Sesampainya di istana, Raja mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu alkemi. Raja akan memberikan apa yang diminta oleh orang itu. Tetapi apa jawab orang desa itu, "Tidak. Saya tidak mengetahui sedikit pun ilmu yang Baginda maksudkan."

    Raja berkata, "Setiap orang memberitahu aku bahwa engkau mengetahui ilmu itu." "Tidak, Baginda," jawabnya bersikeras. "Baginda mendapatkan orang yang keliru." Raja mulai murka dan mengancam. "Dengarkan baik-baik!" kata Raja. "Bila kau tak mau mengajariku ilmu itu, aku akan memenjarakanmu seumur hidup." "Apa pun yang Baginda hendak lakukan, lakukanlah. Baginda mendapatkan orang yang keliru" "Baiklah. Aku memberimu waktu enam minggu untuk memikirkannya. Dan, selama itu kau akan dipenjara. Jika pada akhir minggu ke enam kau masih berkeras hati, aku akan memenggal kepalamu."

    Akhirnya orang itu dimasukkan ke dalam penjara. Setiap pagi Raja datang ke penjara dan bertanya, "Apakah kau telah berubah pikiran? Maukah kau mengajariku alkemi? Kematianmu sudah dekat, berhati-hatilah. Ajari aku pengetahuan itu." Orang itu selalu menjawab, "Tidak Baginda. Carilah orang lain. Carilah orang lain yang memiliki apa yang Baginda inginkan, saya bukanlah orang yang Baginda cari."

    Setiap malam ada seorang pelayan yang melayani orang itu dalam penjara. Pelayan itu berkata bahwa Raja mengirimnya untuk melayani orang itu sebaik-baiknya. Pelayan itu menyapu lantai serta membersihkan ruangan penjara itu. Pelayan itu juga selalu mengantarkan makanan dan minuman untuk orang itu, memberikan simpati kepadanya, melakukan apa saja yang diminta oleh orang itu, dan bekerja apa saja selayaknya seorang pelayan. Pelayan itu selalu menanyakan, "Apakah anda sakit? Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk anda? Apakah anda lelah? Bolehkah saya membersihkan tempat tidur anda? Maukah saya kipasi hingga anda tertidur, udara di sini panas sekali." Dan, segala sesuatu yang bisa pelayan itu lakukan, maka ia lakukan saat itu juga.

    Hari terus belalu. Dan, kini tinggal satu hari lagi sebelum kepala orang itu dipenggal. Pagi hari Raja mengunjungi dan berkata, "Waktumu tinggal sehari. Ini kesempatan bagimu untuk menyelamatkan nyawamu sendiri." Tetapi orang itu tetap saja berkata, "Tidak Baginda. Yang Baginda cari bukanlah hamba." Pada malam hari, sebagaimana biasa pelayan itu datang. Orang itu memanggil pelayan itu untuk duduk dekat dirinya kemudian diletakkan tangannya di bahu pelayan itu dan berkata, "Wahai orang yang malang. Wahai pelayan yang malang. Engkau telah berlaku sunguh baik terhadap diriku. Kini aku akan membisikkan di telingamu sebuah kata tentang alkemi. Sebuah kata yang akan membuatmu mampu mengubah besi menjadi emas."

    Pelayan itu berkata, "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan dengan alkemi. Saya hanya ingin melayani anda. Saya sungguh sedih bahwa besok anda akan dihukum mati. Itu sungguh mengoyak hatiku. Saya harap saya bisa memberikan jiwa saya untuk menyelamatkan anda. Seandainya saya bisa, sungguh saya sangat bersyukur."

    Sang alkemi menjawab, "Lebih baik aku mati daripada memberikan ilmu alkemi ini kepada orang yang tidak layak menerimanya. Ilmu yang baru saja aku berikan kepadamu dalam simpati, dalam penghargaan, dan dalam cinta, tak akan kuberikan kepada Raja yang akan mengambil nyawaku besok. Mengapa demikian? Karena engkau pantas menerimanya, sedangkan Raja itu tidak."

    Esok harinya, Raja memanggil sang alkemi dan memberikan peringatan terakhir. "Ini adalah kesempatan terakhirmu. Kau harus mengajariku ilmu alkemi, bila tidak lehermu harus dipenggal." Sang alkemi menjawab, "Tidak Baginda, anda mendapatkan orang yang keliru." 

    Raja pun berkata, "Baiklah. Aku putuskan kau untuk bebas, karena kau telah memberikan alkemi itu padaku." Sang alkemi keheranan, "Kepadamu? Saya tidak memberikannya pada Baginda Raja. Saya telah memberikannya pada seorang pelayan." 
    "Tahukah kamu, bahwa orang yang melayanimu setiap malam adalah aku," jawab sang Raja.

    Renungan: 
    Banyak orang menginginkan emas dalam hidupnya dengan mempelajari alkemi. Tetapi saat ia mencapai tujuannya, bukan emas yang ia temukan, justru ia sendiri menjadi emas itu [sweet dream]. 







    red more http://dibebaskan.blogspot.co.id/2013/01/pengertian-alkemi-dan-kisah-pemuda.html
  • MEMAHAMI HADITS 
    BERDASARKAN ASBABUL WURUD
     
    Asbabul Wurud adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Pembagian Asbabul Wurud : ada hadits yang mempunyai sebab disabdakan dan ada hadits yang tidak mempunyai sebab-sebab disabdakan. (1) Hadits yang mempunyai sebab disebutkan dalam hadits itu sendiri. Misalnya hadits yang timbul karena pertanyaan Jibril kepada Nabi SAW tentang pengertian Islam, Iman, dan Ihsan. (2) Hadits yang sebab tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi disebutkan pada jalan (thuruq) hadits yang lain, misalnya : hadits yang menerangkan shalat yang paling utama bagi wanita adalah di rumah kecuali shalat fardhu.
    Dan untuk sampai kepada pemahaman hadis yang benar  salah satu caranya yaitu dengan mengetahui asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadits). Ini sangat penting, khususnya bagi para pemuda yang baru belajar hadits, tapi sudah bergaya seperti para Imam, untuk kemudian berfatwa atau menghukumi perbuatan orang lain hanya dengan melihat matan (isi) hadits, tanpa mau menengok sebab-sebab turunnya hadits serta pendapat para ahli ilmu dan ahli fikih yang diakui dunia Islam. Yaitu para ulama yang jauh dari para raja dan para penguasa zhalim. Karena mereka hanya takut kepada Allah SWT. (Innama yakhsyallaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa’).
    Asbabul Wurud ditentukan oleh beberapa hal : (1) Ada ayat al-Qur'an yang perlu diterjemahkan Rasulullah. Fungsi hadits sebagai Tafsirul Qur'an bis Sunnah). (2) Ada matan hadits yang masih perlu dijelaskan oleh Rasulullah. Hadits yang dijelaskan itu merupakan sababul wurud dari hadits berikutnya. (3) Ada peristiwa yang timbul yang perlu dijelaskan oleh Rasulullah. (4) Ada masalah atau pertanyaan dari para sahabat. Ulama yang mula-mula menyusun kitab mengenai asbabul wurud adalah Abu Hafsah al-'Akbari (380-456 H). As-Suyuthi - karyanya berjudul "al-Muma' fi Asb al-Hadits" 5. Urgensi Asbabul Wurud : dapat membantu atau menolong dalam memahami hadits secara benar. Jika hadits tidak diketahui asbabul wurudnya, akan mengaburkan pemikiran seseorang dalam memahamai hadits, bahkan bisa salah sama sekali. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi :  "Barang siapa menyerupai kaum maka termasuk golongan mereka"
                Menurut Muh.Zuhri, hadits ini pernah dipahami, karena penjajah orang kafir itu bercelana panjang dan berdasi, maka orang Islam yang berpakaian semacam itu termasuk kafir, berdasarkan hadits tersebut.
    Dalam hadist yang di riwayatkan al Bukhari dari Al Bara’ bin Azib, dijelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Masuk Islamlah kamu kemudian berperanglah!’
    Jika kita tidak mengetahui latar belakang di ucapkannya hadis ini, kemungkinan kita akan berkesimpulan salah.  Pertama kita akan berkesimpulan: begitulah Islam.  Suka berperang, ajarannya berat.  Kedua, jika tidak berani berperang, tidak usah masuk Islam.  Hal lain, kita tidak tahu kepada siapa sebenarnya perintah itu di tujukan.  Tetapi selatelah kita mengetahui latarbelakangnya, ternyata kesimpulan di atas salah.  Akibat salah menarik kesimpulan, pengamalannya pun pasti akan salah.
    Orang yang membaca hadits tersebut akan berkesimpulan bahwa Islam agama yang suka perang.  Jika tidak mau berperang maka tidak perlu masuk Islam. Atau tugas utama orang setelah masuk Islam adalah berperang.  Pemahaman ini tentu sangat jauh dari makna hadits tersebut. Untuk itu kita perlu mengetahui sebab turunnya hadits tersebut. Yaitu pada suatu peperangan ada seorang laki-laki menemui beliau dan berkata,  “ Ya Rasulullah aku akan berperang kemudian baru masuk Islam. “Lalu beliau menjawab, “Masuk Islamlah kemudian berperang.“ Kemudian dia loncat ke medan perang dan terbunuh. Lalu Rasulullah bersabda, “Dia beramal sedikit namun diberi pahala banyak. “ 
    Senada dengan tersebut Al Bara mengatakan bahwa ternyata hadist tersebut diucapkan Rasulullah karena saat itu timbul peristiwa.  Yaitu peristiwa datangnya seorang laki laki menemui beliau, katanya: “Ya Rasulullah, aku akan berperang kemudian barulah aku masuk Islam”.  Kata Rasulullah: “Masuk Islamlah, kemudian berperang”  Akhirnya orang tersebut masuk Islam dan kemudian pergi berperang dan terbunuh di sana.  Menyaksikan kejadian itu, Rasulullah bersabda: “Dia beramal sedikit namun di beri pahala banyak”
    Peristiwa yang melatarbelakangi timbulnya hadist Rasul ini di sebut Sababul Wurud atau istilah jamaknya Asbabul Wurud. Dengan mengetahui Sababul Wurud suatu hadis kemungkinan salah menyimpulkan kandungan hadist akan leibh teratasi.  Dan tentu saja pengamalan dan penterapannyapun akan lebih tepat. Asbabul wurud dalam Al Hadist sama halnya dengan Asbabun Nuzul dalam Al Quran.  Mengingat betapa pentingnya kedua Asbab ini, banyak ulama yang mengikhlaskan dirinya menggeluti kedua bidang ini sehingga baik Asbabun Nuzul maupun Asbabaun Wurud menjadi sebagian atau cabang ilmu dalam Agama Islam.
    Al Hadist dilihat dari segi Asbabul Wurud atau sebab sebab timbulnya di tentukan oleh beberapa hal:
    1.      Ada ayat Al Quran yang perlu di jelaskan Rasulullah sebab salah satu fungsi al Hadist adalah tafsir dari Al Quran (Tafsirul Quran bis Sunnah)
    2.      Ada Matan hadist yang masih perlu di jelaskan oleh Rasulullah.  Hadist yang di jelaskannya itu sekaligus merupakan Sababul Wurud dari hadist berikutnya.
    3.      Ada peristiwa yang timbu l yang perlu diulas oleh Rasulullah
    4.      Ada masalah atau pertanyaan para shabat.
    Namun ada pula matan hadits yang timbul tanpa Sababul Wurud atau timbul dengan sendirinya. Sabda Rasulullah, “Sesungguhnya kehadiranku merupakan rahmat Allah dan aku bertugas memberikan petunjuk” dan “Kasihanilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya akan mengasihani semua yang ada di langit”. Yakni berpegang teguhlah kepada akhlaqul kharimah yang sebenarnya menjadi tujuan kita semua agar masyarakat umum juga berjalan di atas prinsip itu.  Dan justru  pada sunnah itulah kita akan mendapatkan ajakan yang menuju kea rah itu dengan contoh contoh yang mencakup semua aspek.   Karena sesungguhnya sunnah adalah:
      
    ·         Sunnah adalah seluruh prilaku Nabi Muhammad yang berisi ajakan dengan cara yang baik dan bijaksana menuju keluhuran budi pekerti ummat manusia
    ·         Sunnah adalah ajakan kepada seorang pedagang agar ia menjadi pedagang yang jujur yang kelak dapat berkumpul bersama para Nabi, Syuhada dan Shadiqin
    ·         Sunnah adalah himbauan kepada pekerja agar ia meyakini tugas pekerjaan yang diembannya sebab Allah mencintai orang  yang bekerja dengan penuh keyakinan dan ketekunan.
    ·         Sunnah adalah ajakan kepada seluruh umat manusia agar menunaikan amanat dengan sebaik baiknya sebab tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanat.   Juga mengajak kepada kebenaran, karena saat seseorang berlaku benar, Allah akan menetapkannya sebagai seorang  yang benar di sisinya. 
    ·         Sunnah mengajak manusia bernaung  di bawah rahmat Islam, ajaran yang dibawa Rasulullah. 
    Sunnah Rasul dalam da’wahnya selalu memperingatkan peranan umat Islam, bahwa peranannya adalah sebagai khalifah yang seharusnya menampilkan sifat sifat kepemimpinan utama dan keteladanan yang baik. Rasulullah merupakan sosok atau kehidupan yang menggambarkan tentang prinsip prinsip kemanusiaan, perilaku yang telah di gariskan dan disukai Allah yang harus diteladani umat manusia.
    Menyadari kedudukan As Sunnah yang demikian tinggi dan mulia, maka para ulama yang memperoleh cahaya kebenaran, setiap masa, berusaha bersungguh sungguh mempelajari dan mengajarkan Sunnah, melaksanakan dan menyampaikan  prinsip-prinsip akhlaq mulia yang diterangkan di dalamnya. Para ulama ahli sunnah mengetahui dan menyadari  fungsi mereka.  Oleh sebaba itu mereka bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia sementara manusia saling berebut rebutan. Mereka, yakni ulama-ulama Sunnah tidak tertarik menumpuk- numpuk harta kekayaan karena kekhidmatan mereka terhadap agama.  Mereka menghindar dari gaya hidup berfoya foya karena ingin menanamkan benih benih akhlaqul kharimah.  Mereka menjauhi kemegahan kekuasaan dan kebesaran yang diberikan Allah kepada yang dikehendakiNya dan dicabut dari siapa yang di kehendakiNya.  Mereka sabar dalam menempuh kehidupan, sabar beramal dan beribadah.  Mereka giat bekerja di siang hari, tekun beribadah di malam hari mencari ridha Allah dan RasulNya.
    Diantara contoh yang ingin kami ketengahkan yang sesuai dengan gambaran di atas, misalnya Imam Ahmad bin Hambal.  Dia seorang Muhaddist yang menerapkan gambaran yang sebenar benarnya apa yang ada pada diri Rasulullah terutama masalah akhlak. Sirah atau perjalanan hidup Imam Ahmad merupakan contoh paling jelas dari seorang yang berpegang teguh terhadap apa yang diyakini benar, dan sekaligus kesabarannya dalam mencapai dan menyampaikan kebenaran.
    Contoh lain, Imam Bukhari dan yang lainnya yang jiwanya selalu haus akan sunnah, perilakunya senantiasa  memperlihatkan contoh perilaku utama dari akhlaqul karimah.  Contoh utama akhlaqul karimah tsb. Selalu bertujuan membentengi diri dari perangai dan perilaku jahat yang selalu dihembuskan syetan pada setiap keadaan. Dia selalu berusaha memisahkan orang dari keutamaan dan kebenaran agar terperosok ke dalam tarikan hawa nafsu dan kesesatan.
    Jika keteladanan akhlak utama ini sirna, maka manusia akan kehilangan harga dirinya, kehilangan sesuatau yang dapat menenangkan jiwanya serta kehilangan kepercayaan kepada dan dari orang lain. Betapa sunnah Rasul telah berhasil mendidik orang-orang.  Hal ini merupakan kekhususan tabiat sunnah itu sendiri di mana kemanusiaan telah dapat menyaksikan ketinggian, kejujuran dan kekuatan mereka yang terdidik oleh sunnah Rasul.
    Imam Ahmad, Imam Al Bukhari dan Amirul Mukminin dalam al Hadist, seperti Imam Sufyan Ats Tsauri dan lain lainnya merupakan mercu suar yang menerangi umat menuju keluhuran budi. 
    Jika demikian halnya, tidak boleh tidak, mutlak diperlukannya usaha menyiarkan sunnah, upaya memperbanyak orang orang yang haus terhadap sunnah, orang orang yang menjadikannya menjadi pola hidupnya.  Alhasil, sunnah harus di dimasyarakatkan, sunnah harus di sebarkan agar menjiwai kemanusiaan.  Sunnah harus mewarnai peradaban, Sunnah harus disebarkan untuk memperkaya perbendaharaan kata dalam Bahasa.
     Untuk itu marilah kita lihat contoh lain memahami hadits dengan melihat asbabul  wurudnya.  
    “Angkatlah rumah itu ke langit dan mintalah kepada Allah kelapangan rizki. “
     (HR Thabrani, isnadnya hasan). Orang yang tidak melihat sebab turunnya hadits. maka ia 
    menduga bahwa Rasulullah menyuruh agar kita mengangkat rumat ke langit. Ini tentu tidak 
    mungkin dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin rumah bisa diangkat ke langit.? 
    Sababul wurudnya adalah ketika Khalid bertanya kepada Rasulullah, “Aku mengeluh kepada Rasulullah tentang kesempitan hidup dan kemiskinan. “ Sabda beliau, “Angkatlah rumah itu ke langit……“ 
    Maksudnya adalah suasana rumah harus diciptakan sedemikian rupa supaya tidak terasa sumpek baik fisik maupun non fisik. Karena kita tidak mungkin menggangkat rumah sampai langit.  
    Hadits lainnya, “ Sesungguhnya perempuan itu menghadap dalam rupa syetan dan membelakangi 
    dengan rupa syetan. Maka bila salah seorang kamu melihat perempuan, 
    lalu ia mengagumi kecantikannya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena sesungguhnya
    hal itu akan mengembalikan sesuatu yang ada pada dirinya.“ (HR Muslim, Ahmad, 
    Abu Daud adan Nasaa’i).
    Membaca dhahir hadits kita akan  berkesimpulan alangkah malangnya nasib wanita yang
    disamakan dengan syetan. Padahal maknanya tentu sangat jauh dari dhahirnya (arti teksnya).
    Karena sebab turunnya hadits tersebut adalah pada suatu saat Nabi melihat seorang wanita, 
    maka beliau segera mendatangi istrinya Zainab, lalu beliau menunaikan hasratnya kepada istrinya.
    Kemudian beliau menemui sahabat-sahabatnya dan bersabda seperti bunyi hadits tersebut.Sehingga maknanya bahwa kecantikan wanita itu dapat menimbulkan gairah atau nafsu seksual yang 
    mengarah kepada kemaksiyatan. Sebagaimana halnya syetan yang mengajak kepada perbuatan maksiyat, keji dan munkar. Jadi maknanya  wajah wanita dalam rupa syetan hanyalah majaz (tamsil) bukan makna hakiki. Sebab kecantikannya dapat menggoda kita. Karena itu Rasulullah menyuruh 
    agar segera kembali kepada istrinya agar tidak tergoda oleh wanita lain.
    “Sesungguhnya anak itu menimbulkan sifat bakhil, menakutkan, membodohkan dan 
    menyedihkan. “  (HR Hakim, Thabarani, Imam Adz Dzahabi dan Al Iraqi menyatakan
    sanadnya shahih). Sababul wurudnya adalah Rasulullah menggendong Hasan (cucunya) 
    lalu beliau menciuminya dan bersabda seperti itu. Maksudnya bahwa anak atau cucu 
    bisa melalaikan, menyebabkan cinta dunia dan melupakan akherat. 
    
    
    Demikianlah salah satu cara memahami hadits. 
    Yaitu dengan melihat sebab-sebab turunnya hadits
  • Al-Jarhu wa Al-Ta’dil
    (Evaluasi Negatif dan Positifnya Perawi Hadis)

    A. Latar Belakang Histori
    Terbunuhnya Umar bin al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu Kritik Hadis. Namun terbunuhnya Utsman bin ‘Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin Ali pada tahun 61 H, yang diiringi lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu Kritik Hadis. Karena untuk memperoleh legitimasinya masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari Hadis Nabi s.a.w. Apabila Hadis yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat Hadis palsu.
    Sejak saat itu para ulama kritikus Hadis dalam menyeleksi Hadis tidak hanya mengkritiknya dari segi matannya, melainkan juga dengan meneliti identitas periwayat Hadis tersebut. Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad. Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman bin Affan), apabila mendengar Hadis mereka selalu menanyakan dari siapa Hadis itu diperoleh. Apabila diperoleh dari Ahlus-Sunnah, Hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, Hadis itu ditolak[1]. Maka sejak saat itu, para ulama ahli Hadis membuat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima Hadisnya, di samping kriteria-kriteria teks Hadis yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam.
    Kajian masalah kualifikasi perawi hadis tumbuh dan berkembang menjadi suatu cabang ilmu hadis yang disebut ‘ilm jarh wa ta’dil, yakni suatu ilmu yang mempelajari perihal para periwayat hadis dari segi sifat jelek dan sifat baik (terpuji) yang dimilikinya untuk mengetahui apakah dengan demikian riwayatnya dapat diterima ataukah harus ditolak.
    Ilmu ini tumbuh dan berkembang seiring dengar pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis itu sendiri, karena untuk dapat menyeleksi hadis yang dapat diterima atau ditolak, haruslah dengan mengetahui keadaan para periwayatnya, yakni dengan melakukan jarh wa ta’dil. Para sahabat, para tabiin, dan ulama hadis generasi berikutnya tidak mau begitu saja menerima hadis yang sampai kepada mereka, kecuali apabila yang menyampaikannya itu orang yang mereka kenal dan dapat dipercaya.
    Di kalangan sahabat yang terkenal melakukan jarh dan ta’dil ialah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, dan Zaid bin Sabit. Dari kalangan tabiin: asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, al-A’masy, dan Syu’bah. Generasi selanjutnya di antaranya ialah Ibnu al-Mubarak, Ibnu Uyainah, Ibnu Mahdi, Yahya bin Ma’in, dan Imam Ahmad bin Hanbal, di samping imam-imam hadis terkenal, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
    Para pakar Ilmu-ilmu Hadis menilai bahwa abad pertama Hijriah merupakan periode pertumbuhan Ilmu-ilmu Hadis. Sementara sejak awal abad kedua sampai awal abad ketiga dinilai sebagai peiriode penyempurnaan. Sedangkan masa berikutnya, sejak awal abad ketiga sampai pertengahan abad keempat merupakan masa pembukuan. Pada masa ini para ahli Hadis mulai membukukan Ilmu-ilmu Hadis, meskipun secara parsial. Misalnya, Yahya bin Ma’in (w 234 H) menulis Tarikh al-Rijal, Ahmad bin Hanbal (w 241 H) menulis al-I’lal wa Ma’rifah al-Rijal. Bahkan sebelum mereka, Muhammad bin Sa’d (w 230 H) telah menulis al-Tabaqat al-Kubra [2], Ibnu Abi Hatim al-Razi (w 327 H) juga menulis buku kritik terhadap rawi-rawi Hadis, berjudul al-jarh wa al-Ta’dil. Sementara Ibnu Hibban al-Busti (w 354 H) menulis buku yang khusus mengkritik rawi-rawi yang ditolak Hadisnya, berjudul Kitab al-Majruhin. Imam Bukhari (w 256 H) juga menulis buku kritik Rawi Hadis, berjudul al-Tarikh al-Kabir.

    B. Definisi
    Al-jarh dan al-ta’dil adalah dua istilah dalam ilmu hadits, yang artinya  melukai dan mengadilkan, yakni, memandang sebagai adil’, yakni, kritik negatif dan positif kepada para tokoh penutur hadits. Dengan al-jarh, segi-segi kelemahan seorang tokoh penutur hadits diungkapkan, dan dengan al-ta’dil segi-segi kekuatannya yang diungkapkan. Dengan begitu dapat diperkirakan, atau diketahui, sampai sebuah hadis yang diriwayatkan oleh orang bersangkutan dapat dipercaya (shahih, sahih) atau tidak.[3]
    Al-Jarh ( ﺍﻟﺠﺭﺡ ) secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata ﻳﺟﺮﺡ ﺟﺮﺡ -   yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[4]
    Al-Jarh secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedang “at-Tajrih ” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.[5]
    AI-Adl ( ﺍﻟﻌﺪﻝ ) secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.[6] Sedangkan AI-Adl secara terminologis berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima, bila dipenuhi pula syarat-syarat yang membersihkannya sehingga tampak sifat adilnya dan dapat diterima khabarnya.[7]
    Dengan demikian, Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil berarti Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka atau ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk menentukan status perawi hadis, baik yang berkaitan dengan kecacatan atau keadilannya dengan lafadz-lafadz khusus, baik untuk menerima Hadits maupun menolaknya.[8]

    C.  Ruang Lingkup
    Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagal berikut:
    1)      Bid’ah, yakni mempunvai i’tikad beriawanan dengan dasar syariat. Orang tersebut digolongkan sebagal fasik. Bid’ah juga bisa digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayal bahwa Tuhan menyatu dengan Ali dan imam-iman lain, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali kedunia sebelum kiamat.
    2)      Mukhalafah, yakni perlawanan sifat adil dan dhabith seorang rawi dengan rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
    3)      Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan .
    4)      Jahalatul hal, yakni tidak diketahul identitasnya.
    5)      Da’wa al-Inqitha’, yakni mendakwa, terputusnya sanad.
    Kaidah Tajrih dan Ta’dil ada dua macam:
    1. Naqd Khariji, atau kritik eksternal, yaitu tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
    2. Naqd Dakhili, kritik internal, yaitu tentang makna Hadits dan syarat keshahihannya.
    Syarat pentajrihan dan pen-Ta’dil-an adalah:
    1. Berilmu
    2. Taqwa,
    3. Wara,
    4. Jujur,
    5. Menjauhi fanatik golongan,
    6. Mengetahul sebab-sebab ta’dil dan tajrih (mufassar)

    D.  Dasar Hukum
    Kaidah-kaidah umum syari’at menunjukkan kewajiban memelihara sunnah. Dan menjelaskan hal-ihwal para perawi merupakan salah satu sarana untuk menjaga sunnah. Meskipun ajaran dasar Islam melarang umatnya menyebut dan mengungkap sifat jelek seseorang, namun menyelidiki dan mengungkap sifat jelek para periwayat hadis bukanlah hal yang dilarang, karena tujuan utamanya adalah untuk memelihara kemurnian dan kebenaran hadis Rasulullah SAW dari periwayatan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Nuruddin Atr, muhaddis dari Suriah, ulama sepakat bahwa jarh wa ta’dil adalah suatu hal yang disyariatkan (di anjurkan oleh agama), bahkan termasuk hal yang diwajibkan, karena perlu untuk memelihara sumber ajaran agama.
    Para ulama sepakat bahwa Jarh wat Ta’dil dibolehkan dalam syariat Islam bahkan Jarh wat Ta’dil mutlak diperlukan untuk melihat kondisi suatu Hadits dari sisi sanadnya. Proses Jarh wat Ta’dil bukan termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama, karena Jarh wat Ta’dil dilakukan untuk mengetahui bagaimana kwalitas kepribadian seorang rawi, apakah ia termasuk orang yang boleh diterima Haditsnya atau tidak.[9]
    Dalil disyariatkannya jarh wa ta’dil terhadap para periwayat hadis tersebut adalah antara lain:
    Firman Allah Azza wa Jalla: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.” (Al-Hujurat: 6)
    Di tempat lain, Allah SWT juga berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)
    Berkenaan dengan al-Jarh, Rasulullah SAW. bersabda: “Seburuk-buruk saudara keluargaku adalah dia.[10]
    Dan berkenaan dengan ta’dil, beliau bersabda: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah.[11]

    E. Fungsi dan Kegunaan
    Ilmu Jarh wat Ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah Jarh Wat Ta’dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak dapat memperoleh simpulan yang benar ketika membaca biografi perawi dalam kitab-kitab biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah Jarh dan Ta’dil, maksud, dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan Ta’dil yang tertinggi sampai pada tingkatan Jarh yang paling rendah.[12]

    F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil
    Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abu Hatim Ar Razi dalam mukadimah kitab AI-Jarh Wat-Ta’dil telah membagi lafal jarh dan ta’dil menjadi empat tingkatan dan menjelaskan nilainya. Az-Zahabi dan Al-Iraqi menambah satu tingkatan Ta’dil yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut Ar Razi (Ibnu Abi Hatim), yaitu penilaian siqah yang djulang-ulang, seperti siqatun-siqatun atau siqatun-hudatun. Pada akhirnya Al Hafiz lbnu Hajar Al-Asqalani menambah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan tambahan Az-Zahabi dan Al Iraqi, yaitu sighat tafdil, seperti ausaqun nas, atau asbatunnas. Sehingga tingkatan ta’dil akhirya menjadi enam. Demikian juga ulama lain menambahkan dua tingkatan jarh selain beberapa tingkatan yang telah dikemukakan Ibnu Abi Hatim, sehingga lafal dan tingkatan jarh menjadi enam juga.

    Tingkat dan Bentuk Lafadz-lafadz Ta’dil

    No
    Bentuk Lafadz
    Status Kehujjahan
    1
    Lafadz berwazan af’al al-tafdhil yaitu Kata-kata yang menunjukkan penilaian sangat siqah atau mengikuti wazan: af’alu. Kata-kata ini menempati tingkatan tertinggi.
    ﺍﻟﻨﺎﺲ ﺍﺜﺑﺕ
    ﺍﻮﺛﻖ ﺍﻟﻨﺎﺲ ﺤﻔﻈﺎ
    ﻮ ﻋﺪﺍﻠﺔ
    ﺍﻠﺜﺑﺕ ﻔﻰ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺍﻟﻳﻪ
    Ta’dil pada tingkat 1,2 dan 3 dapat dijjadikan hujjah, sekalipun tingkatan sebagian berbeda dengan tingkatan yang lain
    2
    Lafadz yang diulang, atau kata majmuk setara atau Kata-kata yang dikokohkan dengan satu atau dua dari sifat-sifat penilaian siqah.
    ﺜﺒﺕ ﺜﺒﺕ ﺜﻗﺔ ﺜﻗﺔ
    3
    Lafadz mufrad yang bermakna dhabit atau Kata-kata yang menunjukkan penilaian siqah tanpa penguat.
    ﺜﻗﺔ ﻤﺘﻗﻦ ﺜﺑﺕ
    ﺿﺎﺑﻄ ﻋﺪﻞ
    4




    Lafadz yang tidak menunjukkan adanya ke-dhabith-an atau Kata-kata yang menunjukkan keadilan (ta’dil) tanpa diterangkan kedabitannya.
    ﻻﺑﺄﺱﺑﻪ ﻤﺄﻤﻮﻥ ﺼﺪﻭﻖ
    Ta’dil pada tingkatan 4 dan 5 tak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi hadits-hadits mereka dapat dijadikan ikhtibar dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits lain yang lebih kuat, jika hadits perawi tingkatan ini sesuai dengan hadits yung lebili kuat maka hadits mereka dapat dijadikan hujjah,.jika sebaliknya, maka hadits mereka tak dapat dijadikan hujjah

    5
    Lafadz yang tidak menunjukkan kesangatan (muhalaghah) atau
    Kata-kata yang tidak menunjukkan penilaian siqah atau penilaian cacat.
    ﺍﻠﺼﺪﻖ ﻣﺣﻞ
    ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ ﺠﻳﺪ
    ﺣﺳﻦ ﺍﻠﺤﺪﻴﺚ
    ﻮﺴﻃ ﻔﻼﻦ


    6


    Lafadz-Lafadz yang diiringi Iafazh Musyiah (insya Allah) : atau dimulai dengan pengharapan atau ditashghirkan (dianggap kecil) atau Kata-kata yang mendekati penilain cacat (tajrih).


    ﺍﷲ ﺍﻨﺷﺎﺀ ﺼﺪﻮﻖ
    ﺑﻪ ﺑﺄﺲ ﺑﺎﻦ ﺍﺭﺠﻮ ﻔﻼﻥ
    ﺼﻮﻳﻠﺢ ﻔﻼﻥ
    ﺑﻪ ﻴﻌﺗﺑﺭ ﻔﻼﻦ


    Sedangkan ta’dil pada tingkatan terakhir maka hadits yang diriwayatkan rawi dari tingkatan ini tak dapat diterima, akan tetapi hadits mereka boleh saja ditulis, sebagai i’tibar bukan sebagai ikhtibar




    G.  Beberapa Masalah dalam Jarh wat Ta’dil 
    Jika terdapat pertentangan penilaian di kalangan ulama hadis terhadap seorang periwayat, misalnya sebagian ulama hadis menilainya sebagai periwayat yang ‘adil, sedangkan sebagian lain menilainya sebagai periwayat yang terkena jarh, maka terhadap persoalan ini terlebih dahulu diperlukan kajian lebih jauh, sebab boleh jadi pertentangan itu hanya lahiriah, sedang hakikatnya tidaklah bertentangan. Sebagai contoh, adakalanya seorang periwayat dinilai terkena jarh oleh sebagian ulama hadis karena mereka mengenalnya sebagai orang fasik, tetapi sebagian lain mengetahui sekali bahwa periwayat tersebut telah tobat dengan sebenarnya. Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini tidak ada pertentangan, karena keduanya dapat dikompromikan. Periwayat tersebut dinilai jarh sesuai dengan sifat fasiknya, dan dinilai ‘adil setelah ia tobat dengan sebenarnya. Riwayatnya ketika fasik ditolak dan riwayat yang disampaikannya setelah tobat dapat diterima.
    Apabila terdapat perlawanan atau ta’arudh antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan, terdapat beberapa pendapat :
    1. Jarh didahulukan secara mutlak walaupun mu’adilnya lebih banyak daripada jarih-nya. Sebab bagi jarih mempunyaji kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang dibedakan menurut lahirnya saja.
    2. Ta’dil didahulukan dari jarh, karena dalam mengabaikan rawi kurang tepat dalam hal sebab pencatatannya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang.
    3. Ta’dil didahulukan bila jumlah mu’addil lebih banyak daripada jarih-nya, lebih banyak dipandang lebih kuat.
    4. Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang merajihkan
    Dari tajrih atau ta’dil yang menghasilkan jarh-nya seorang rawi, sebaiknya masih harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan sebab mungkin saja ada kelemahan dalam kondisi jarih atau sebab jarh-nya, atau tajrih-nya dulu keras.
    Apabila tidak ditemukan hal-hal yang dapat mengkompromikan pertentangan penilaian tersebut, maka dalam menanggapi persoalan ini di kalangan ulama hadis terdapat tiga cara penyelesaian :
    1. Jumhur ulama hadis berpendapat bahwa didahulukan penilaian jarh daripada penilaian adil meskipun yang menilai adil lebih banyak daripada yang menilai jarh. Alasannya ialah karena ulama yang menilainya sebagai terkena jarh meneliti hal-hal yang tidak terungkap oleh ulama yang menilainya sebagai ‘adil, karena pengertian jarh lebih teliti kajiannya daripada ta’dil. Atas dasar ini lahirlah ungkapan jarh muqaddam ‘ala ta’dil (penilaian jarh didahulukan daripada penilaian ta’dil).
    2. Imam as-Suyuti, ketika mensyarah kitab hadis al-Taqrib wa al-Taisir yang disusun Imam al-Nawawi, mengatakan bahwa apabila banyak yang menilai ta’dil daripada jarh, didahulukan atau dipedomani penilaian ta’dil daripada jarh. Alasannya ialah bahwa banyaknya ulama yang menilai ta’dil menunjukkan bahwa itulah yang kuat dan ditinggalkan yang lemah.
    3. Imam an-Nasa’i tidak berpihak pada salah satu pun di antara dua penilaian yang bertentangan tersebut, kecuali apabila ditemukan dalil lain yang menunjukkan kuatnya salah satu di antara keduanya. Selama tidak ditemukan dalil lain yang menguatkan salah satunya, maka riwayatnya dibekukan, tidak dikategorikan diterima dan tidak pula ditolak.
























    DAFTAR PUSTAKA

    Abdu Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdu al-Hadi, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil: Qawaiduhu wa Aimmatuhu, Mesir: Darun Nasyri lil Azhar, 1998.
    Amin Abu Lawi, Ilmu Ushul Jarhi wat Ta’dili, Makkah: Dar ibn Afwan, 1997. cet.ke-1
    Endang Soetari, Ad., M.Si, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, cet.ke-2.
    Ensklopedi Hadis, Jakarta: Intermasa, 2003. cet. ke-1
    Mahmud at-Tahhan, Ushulul Takhrij wa Dirasatul Asanid, Alih bahasa Ridlwan Nasir, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
    Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits, Terjemah M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
    Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth.
    Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri’ al-Islami, Sunnah dan peranannya dalam penetapan syari’at Islam, penerjemah, Nurcholish Madjid, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet.ke-3, 1995, h. 80-84







    [1] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth., ii/76-71.

    [2] Ensklopedi Hadis, Jakarta: Intermasa, 2003, h.36-63
    [3] Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri’ al-Islami, Sunnah dan Peranannya dalam penetapan syari’at Islam, penerjemah, Nurcholish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.ke-3, 1995, h.80-84
    [4] Lisan al-’Arab, pokok kata J-R-H, hal. 246, juz III
    [5] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits, Terjemah M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet.ke-2, h. 233
    [6] Lisan al-’Arab, pokok kata ‘A-D-L, hal. 456, juz XIII
    [7] Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits, hal. 233
    [8] Amin Abu Lawi, Ilmu Ushul Jarhi wat Ta’dili, Makkah: Dar ibn Afwan, 1997, cet. 1, hal. 72
    [9] Abdu Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdu al-Hadi, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil: Qawaiduhu wa Aimmatuhu, Mesir: Darun Nasyri lil Azhar, 1998.
    [10] al-I’lan Bi at-Taubikh Li Man Dzamma at-Tarikh, hal. 52 dan al-Kifayah, hal. 38-39. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis, h.234
    [11] Ditakhrij oleh Imam Ahmad dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, h.235
    [12] Mahmud at-Tahhan, Ushulul Takhrij wa Dirasatul Asanid, Alih bahasa Ridlwan Nasir, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, h.100-104